
Sosok kedua, kami culik dari hotel Quality Jogja, disela-sela kesibukannya melakukan kunjungan kerja dari majalah yang digawanginya. Jessica Huwae, former SPICE! Magazine ini mampir ke studio editing di Zerosith Pictures tepat pukul 12 malam, dan sejenak duduk menyimak Mati Bujang Tengah Malam.

Sosok ketiga adalah former TEMPO Magazine yang juga penulis novel IMPERIA, kumpulan cerpen ADA SESUATU DI KEPALAKU YANG BUKAN AKU serta penulis novel NAGABONAR JADI 2 yang juga mampir ke Zerosith Pictures sebanyak dua kali dalam kurun dua pekan untuk menyimak Mati Bujang Tengah Malam sebanyak dua kali pula. Beliau adalah Akmal Nasery Basral yang menonton Mati Bujang, selalu tepat tengah malam dan lepas tengah malam. Lewat Akmal pula, copy dvd off-line film ini sampai ke tangan Deddy Mizwar untuk ditonton dan diberi catatan.

Terakhir, kami punya sosok yang ramah dan sangat bersahabat ini. Jawa tulen, asli Temanggung yang foto di friendster pribadinya mirip dengan rak buku. Kritikus film yang terkenal dengan nick name Den Mas Marto serta telah merilis buku Obrolan Tukang Nonton ini hadir di Zerosith Pictures untuk menonton Mati Bujang Tengah Malam bersama rekan-rekannya dari milis Apresiasi Sastra.

Sampai hari ini, kami masih mengejar dua sosok lagi untuk dimintai komentarnya tentang Mati Bujang Tengah Malam sebelum resmi dirilis bulan Agustus nanti. Sosok pertama adalah kritikus film Eric Sasono dan penulis skenario Mengejar Mas-Mas Monty Tiwa. Dan berikut, adalah review yang ditulis oleh Arie Saptaji, kami ambil dari postingan beliau di milis dunia-film;
Selasa Kliwon, 12 Juni 2007. Malam kian merangkak tua. Perut
dikenyangkan oleh sajian Gudeg Sagan, gudeg basah yang menurutku
paling mak nyus di Yogya; benak disegarkan dengan tukar cerita dan
curah gagasan bersama rekan-rekan yang terkumpul. Ada rombongan dari
FKY: Stevie, Gendhotwukir, Untoro, Aan, dan Mario Bo Niok, yang akan
meluncurkan novelnya "Ranting Sakura" hari Sabtu. Ada suami-istri
Ragil-Anindita. Aku mengajak kawan, Yosua. Yang mengundang kumpul-
kumpul, dan dengan dermawan menraktir kami semua dari royalti novel
barunya yang laris manis, Akmal NB, muncul belakangan. Ia diiringi
Fajar Nugroho, sutradara muda yang passionate, dan Kris Budiman dari
Bentang. Sudah bisa ditebak, obrolan pun berkisar seputar sastra,
penerbitan, dan film. Gayeng.
Dari situ rombongan – minus Ragil-Anindita – meluncur ke Zerosith,
studio ph di kawasan Nologaten. Menu berikutnya: "Mati Bujang Tengah
Malam" (MBTM), film cerita terbaru besutan Fajar, yang masih dalam
tahap editing. Kami diminta ramai-ramai mengomentari dan memberi
masukan.
MBTM diolah dari cerpen berjudul sama yang ditulis Fajar pada 2005.
Skenarionya digarap oleh Donny Prasetyo, yang malam itu juga hadir
bersama sejumlah crew lain.
Nasib Armand, si bujang dalam kisah ini, tak ayal langsung nyambung
dengan riwayat ratusan ribu sarjana pengangguran di negeri ini. Lulus
cumlaude, namun selama tiga tahun terlunta-lunta, tak kunjung
berhasil mendapatkan pekerjaan. Keluarga di rumah meminta dia pulang
kampung saja. Pacarnya memutuskan hubungan secara sepihak. Lengkaplah
kemalangan si Armand. Sampai pertemuan dengan seorang lelaki
misterius menjungkirbalikkan dunianya.
Secara teknis, Fajar tampak makin mahir dengan medium tuturnya. Meski
sisipan flashbacknya semula agak sulit diikuti, namun akhirnya cerita
bergulir dengan mulus (untung pula aku sudah sempat membaca petilan
skenarionya) . Sudut-sudut pengambilan gambarnya lumayan berani dan
bervariasi, seperti beberapa bird's-eye-views. Menarik pula saat
sosok Armand terpuruk di tengah bangku taman sementara lalu lintas di
kiri-kanannya terus bergegas. Atau, Armand menghilang muncul di balik
bis kota yang berseliweran dengan pakaian yang berganti-ganti. Bau
dokumenter juga muncul, seperti dalam shot pengakuan Armand dan
pemanfaatan voice over. Selebihnya, Yogyakarta, yang dalam benakku
terkesan klasik dan tradisional, kini tampil molek dan metropolis.
Oya, iringan musiknya asyik sebagai dengaran, namun terlalu riang
untuk kisah yang gloomy ini.
Fajar menunjuk film-film seperti "21 Grams" dan "Babel" sebagai
pemberi pengaruh pendekatan yang dipilihnya. Pengaruh itu tampaknya
masih cair. "21 Grams" menyajikan multiplot secara bersilangan, maju-
mundur, bertubrukan, sampai di ujung film baru penonton bisa
menemukan pertautannya. MBTM, meski disisipi sejumlah flashback,
berplot tunggal, berfokus pada sosok Armand. Maka, ketika kisah si
Armand sudah rampung, dan ternyata kita masih diberi penjelasan soal
si lelaki misterius itu, film lalu terasa berpanjang-panjang. Namun,
rupanya sutradara memang bukan melulu hendak menuturkan pilihan
tragis Armand, melainkan mau menyoroti apa yang bisa disebut, kalau
aku tidak salah menangkap ujaran Kris Budiman, konspirasi penggeseran
isu media, dengan Armand sebagai salah satu korbannya. Malam itu aku
menyebut ending MBTM sebagai twisting, namun yang lebih tepat
tampaknya adalah shifting. Ya, karena skenario belum memberikan
prabayang yang memadai dari sudut si lelaki misterius.
Yang istimewa dari film ini, sebagai nilai jualnya, tentu kehadiran
Eross 'Sheila on 7' Candra sebagai Armand dan Artika Sari Dewi
sebagai Amelia, pacar Armand. Selain Garin, mana coba sutradara
Indonesia yang berhasil menggaet Artika main film? Sampai dua kali
lagi!
Akhirnya, kalau benar film ini tentang konspirasi penggeseran isu
media, MBTM lalu memenuhi nubuatannya sendiri. Saat film ini dilempar
ke pasar nanti, aktualitas keputusan yang diambil Armand di ujung
film mungkin sudah kurang menyengat – tergeser oleh isu-isu lain.
Namun, justru karena isu media terus berganti dengan cepat, bukankah
kita perlu diingatkan akan isu tertentu yang memang penting? ***
Arie Saptaji
http://ariesaptaji. blogs.friendster .com/
1 comment:
Mbok diedit dikit format tulisane dab, biar lebih enak dibaca gitchu...
Post a Comment