
Petikan diatas di paste dari testim Production Manager film Mati Bujang Tengah Malam, Yousep Eka kepada Johan Ekspresi. Ah, si Ocep, dia ulang tahun pekan kemarin, dan berharap Mati Bujang adalah sebuah proyek besar dengan modal kuat yang dapat memberi setiap elemen yang terlibat didalamnya fee yang layak untuk kemudian di pakai buat apa saja, makan-makan, beli handphone dan lain sebagainya.
Tapi, testim Ocep itu baru impian, karena Mati Bujang Tengah Malam benar-benar proyek film kemenangan hati. Konsep film itu mampu memikat hati Fauzi Bausad saat membacanya dalam lembaran novel Buaya Jantan di kereta api Turangga tujuan Bandung pada salah satu dini hari di akhir bulan November 2006.
Kisah cerpen itu juga merebut hati Donny Prasetyo yang kemudian rela meluangkan waktunya untuk berkutat di depan komputer dan mengadaptasinya ke dalam skenario film dengan 51 scene. Juga tentu saja merebut hati temen-temen kru dan pemain yang lain dan terlibat didalamnya.
Walau akhirnya Eross Candra mau terlibat dan memerankan tokoh Armand, tapi sesungguhnya, diawal hari, hati Eross tak terpikat dengan kisah Mati Bujang. Cerpen dan naskah yang disodorkan kepadanya diawal bulan Januari di kursi bambu di depan studio pribadinya hanya dibolak-balik seraya berkomentar, "Panjang amat nih!" teriak Eross (dan dia benar-benar teriak!)
Sejak itu, saya memberinya draft-draft terbaru skenario Mati Bujang Tengah Malam yang baru saja diselesaikan Donny, catetan saya, ada sekitar lima fotokopi skenario Mati Bujang Tengah Malam saya sodorkan ke Eross. Hingga akhirnya, pada tanggal 21 Februari 2007, pukul 16:32 WIB, sebuah sms masuk ke handphone saya, dari Eross Candra; 'Jar, mulai tanggal 24 (maret) ya, sampai tanggal 31'. Demikian isi sms Eross, sejak itu, kita menaruh jadwal syuting film Mati Bujang Tengah Malam pada 24 hingga 31 Maret, sesuai jadwal yang diberikan Eross.
Tanggal 18 Maret, kembali saya bertemu Eross saat tengah makan malam dengan menu sepiring nasi putih dan indomie rebus. Saya sodorkan lagi naskah Mati Bujang Tengah Malam, lengkap dengan breakdown script dan foto-foto pengadeganan yang saya buat. Eross hanya mengangguk sambil melaham makanannya, dan saya meminta kesediaannya untuk hadir pada reading perdana, 20 Maret.
Dua hari kemudian, Eross benar-benar datang ke tempat reading, di kantor Zerosith Pictures, (tentu saja fans berat Sheila on 7, Harwan Panuju terlonjak senang!) . Saat reading dibawah asuhan Ulin N Yahya selesai pukul 12 malam, Eross menutup naskah dihapadannya seraya berkata; 'Oh, jadi begitu ya ceritanya, kasihan si Armand!"
Lain Eross, beda pula Artika Sari Devi, sosok satu ini saya kirimi sms berisi tanggal syuting, antara 24 hingga 31 Maret, dan Artika bersedia datang pada tanggal 25 dan 26 Maret. Sebelumnya, Artika hanya saya kirimi naskah cerpennya saja. Artika tahu banget cerita-cerita yang selalu saya buat, mulai dari Dilarang Mencium Di Malam Minggu hingga Sangat Laki-Laki. Tapi saya merasa antusiasme nya sangat berbeda usai menerima kiriman naskah cerpen dan akhirnya skenario Mati Bujang, bahkan Artika khusus menelepon saya hampir setengah jam untuk menanyakan detail peran yang akan dimainkannya dalam film ini. Dari akting, gaya rambut, baju yang harus dipakai, hingga make-up. Harusnya, saya yang menelponnya, yah you know lah dude!
"Gw tau lo selalu punya empati yang besar. Perlu di jawab ya? Gw kan masih utang main film lu, gw dateng tanggal 25." dan sms dari Artika itu masuk ke handphone saya pada 8 Maret 2007.
Bersama Eross saat latihan sesaat sebelum pengambilan gambar, Artika yang berperan sebagai Amelia berkata pada pacarnya, Armand yang diperankan Eross. "Ross, anggap aku bukan Artika, tapi Amelia pacar Armand!" Jujur saja, saya bahagia mendengarnya.
Saya juga bahagia begitu melihat sebuah mobil pick-up parkir di depan Cheers Coffee pada salah satu malam-malam yang dingin di awal bulan Januari. "Itu pick-up siapa?" tanya saya, Totom mengacungkan jarinya. "Nah, Tom, besok Maret bantuin syuting ya?" Totom geleng-geleng kepala, tapi bukan menolak, melainkan hadir pukul setengah 6 pagi buta di halaman Zerosith dua bulan kemudian saat produksi Mati Bujang Tengah Malam dilaksanakan.
Saya pernah mendengar pemeo berbunyi, setiap film punya ceritanya masing-masing, setiap film pendek, bahkan memiliki kisah yang panjang. Dan, percayalah pada saya, akhir November 2005 lalu saat naskah cerpen Mati Bujang Tengah Malam itu dikembalikan oleh redaksi sebuah media, saya tak membayangkan kisah itu akan menjadi bagian dari sebuah novel berjudul Buaya Jantan. Dan ketika Fauzi Bausad melontarkan ide untuk memfilmkan cerpen itu saat membacanya dalam novel Buaya Jantan, saya gak tahu bakal punya duit dari mana buat biaya produksinya. Tapi Fauzi selalu melontarkan kalimat yang dikenalnya sejak jaman baru bisa berdiri di kakinya sendiri; SEMANGAT!
Dan, saking semangatnya melihat Mati Bujang menjadi sebuah film, saya sampai mengatakan bersedia, jika suatu hari naskah Mati Bujang Tengah Malam itu akan difilmkan oleh Zerosith Pictures dengan sutradara yang bahkan bukan saya. Seratus persen saya ikhlas, karena berarti belum jodoh buat saya.
"Lo jodoh banget ama gue," kata Grace Natalie, ketika menuruni tangga studio MSV, tempat syuting scene breaking news yang diperankan oleh dirinya sendiri dilakukan. "Seharian kemaren gw liputan ampe jem satu malem, tapi hari ini, nggak ada liputan apa-apa, jadi gw bisa kesini buat syuting," lanjut Grace pada saya. Grace Natalie ini teman lama saya, jika pernah membaca novel Buaya Jantan, ada sub judul Cinta di Puncak Tahta Para Dewa, itu adalah tempat Grace dan saya pernah melakukan liputan untuk program Jalan-Jalan SCTV diawal tahun 2005. Kini, saya meminta bantuannya, untuk terlibat dalam Mati Bujang Tengah Malam, dengan hanya memberinya dua buah kotak bakpia favoritnya saat hendak kembali liputan di Jawa Tengah bersama tim Anteve.
Jodoh?
Saat survei lokasi syuting bersama tim kecil, kami tiba di sebuah kos-kosan milik tante saya, ada satu kamar kosong di lantai dua, dan ada satu kamar kosong di lantai bawah. Pas, untuk kamar Armand dan Gilang sahabatnya yang hidup satu kos. Di kamar atas, di pintu kayu berwarna hijau, saya menemukan coretan dari tip-ex di pintu itu, bunyinya; Tika!
Dan, saat adegan Amelia datang ke kamar kos Armand, pacarnya, Artika melihat coretan tipe-ex itu. "Kok ada nama Tika disini, Jar?" Saya hanya tersenyum, saya bilang, kalau sudah jodoh, tak ada gunung yang tak mampu di daki, tak ada laut yang tak bisa di sebrangi.
Ada banyak kisah seru dan lucu dibalik layar pembuatan Mati Bujang Tengah Malam, kisah-kisah yang berakibat sama; yaitu banyaknya keringat yang mengucur dari setiap mereka yang terlibat di dalamnya, yang tak mungkin saya tulis satu persatu disini...
Semoga angin berhembus, membawakan mimpi baru...
Walaupun aku tahu, takkan pernah ada yang dapat menggantikan keindahannya...
Demikian petikan syair lagu yang ditulis Eross Candra, yang pada pagi hari keempat syuting diperdengarkan pada saya, Harwan Panuju, Donny Prasetyo, Silvi dan Heri dari CD mobilnya. "Kayaknya ada laguku yang cocok untuk soundtrack film kita," bisik Eross pagi itu di telinga saya.
Keindahan produksi Mati Bujang Tengah Malam memang tak akan pernah tergantikan, tapi keindahannya terekam habis dalam 3000 jepretan foto dokumentasi, hampir 20 kaset mini dv behind the scene, tergambar indah dalam filmnya nanti, serta tersimpan di hati sanubari mereka yang terlibat dengan ikhlas.
Mati Bujang Tengah Malam, sebuah film yang penuh kemenangan hati.
Sebuah film yang dimainkan dan dibuat oleh orang-orang yang memiliki respek tinggi terhadap profesinya masing-masing. Sebuah film yang dimainkan dan dibuat oleh mereka yang keindahannya takkan pernah terlupakan oleh hati saya...Semoga suatu hari, level kita semakin meninggi, sehingga sebuah karya, mampu membuat kita mencukupi kebutuhan hidup kita sendiri, hidup anak-anak dan istri kita masing-masing... Kita mencintai film dan film pun menghidupi kita semua. Amien...
Selamat ulang tahun buat Yousep Eka, dan selamat buat seluruh tim produksi Mati Bujang Tengah Malam, seperti kata Eross, "Semoga, habis ini, level kita naik lebih tinggi!" ujarnya di ayunan kompleks Driving Range Golf Adisucipto.
Dan kau hadir saat tangis dan tawaku,
engkau ada dan telah menangkan hatiku...
semua cinta yang telah kau beri, yakinkan aku tuk bermimpi...
dan film ini milik kita...
written by fajarnugross@yahoo.com / sutradarakacangan.blogspot.com
12 April 2007, 19:18 WIB
No comments:
Post a Comment