
Sabtu, 18 Agustus 2007
Mati Bujang Tengah Malam
Cerita Bom Bali di Yogya
Proses pengambilan gambar tuntas dalam sepekan.
Seorang mahasiswa yang baru saja lulus kuliah dengan predikat cum laude tampak gelisah. Berbekal ijazahnya, segala usaha sudah ia lakukan untuk mencari pekerjaan. Namun, tetap saja kesempatan kerja tak kunjung datang padanya. Tidak hanya itu, ia pun baru saja diputus oleh sang kekasih. Tak lama berselang, sebuah peristiwa besar terjadi. Ledakan bom kembali mengguncang Bali pada 2005.
Itulah sepenggal kisah yang memberi inspirasi Fajar Nugroho menuliskan novel berjudul Buaya Jantan yang terbit pada September 2006 lalu. Novel inilah yang kemudian diangkat ke layar lebar dalam bentuk film pendek berjudul Mati Bujang Tengah Malam. Fajar melakukan adaptasi untuk judul film yang juga ia garap bersama rekan-rekannya pada awal tahun 2007.
Film itu bertutur tentang seorang pemuda bernama Armand (diperankan Erros 'Sheila On 7') yang terpuruk lantaran tak kunjung mendapat kerja dan kemudian diputus kekasihnya Amelia (Artika Sari Devi). Di tengah rasa putus asa karena ingin segera menghasilkan uang demi membantu keluarganya, Armand akhirnya mau melakukan aksi bom bunuh diri atas perintah seorang laki-laki misterius dengan imbalan sejumlah uang.
Beberapa penyesuaian memang dilakukan untuk menuangkan alur novel dalam sebuah film pendek. Dalam penulisan skenario, Fajar dibantu oleh rekannya, Donny Prasetyo, yang memang berprofesi sebagai penulis skenario. Untuk menyusun skenario, Donny membutuhkan waktu sekitar satu bulan melalui empat kali perubahan draft. ''Dalam skenario memang ada perubahan di sana sini termasuk pemotongan cerita,'' papar Donny. Tak sedikit kisah dalam novel yang tidak ada dalam film ini, kata dia, tapi beberapa karakter baru dimunculkan.
Donny mencontohkan, adanya upaya pengalihan isu tentang korupsi dengan melakukan peledakan bom pada alur cerita di novel tidak secara nyata tampak pada film. ''Untuk menggambarkan pengalihan isu membutuhkan waktu yang panjang dan juga adegan yang tidak sedikit,'' papar dia.
Di Yogya
Untuk proses shooting film Mati Bujang Tengah Malam ini menghabiskan waktu selama satu pekan. Sepanjang waktu itu, sejak pukul 05.00 WIB kru sudah stand by di lokasi shooting. Padahal, shooting sendiri dimulai pukul 06.00 WIB sampai malam.
Berhubung seluruh kru memang berdomisili di Yogyakarta, shooting pun dilakukan di seputar kota ini. Karena lokasi bom bunuh diri berlatar sebuah kafe, maka dalam film, kafe bernama Cheers yang berlokasi di Jalan Gejayan, Yogyakarta, dipilih sebagai salah satu lokasi shooting. Tidak banyak dilakukan perubahan dengan kafe ini.''Hanya ada penambahan lampu untuk menghidupkan suasana. Karena kafe itu kurang terang dan ramai,'' kata Fajar yang juga menjadi sutradara film ini.
Sementara lokasi lainnya yang dipilih adalah sebuah tempat kos di Kabupaten Bantel, Yogyakarta, yang menjadi tempat tinggal Armand. Tempat kos ini kebetulan memang sebuah kamar kosong yang sedang tidak disewa dan disewa khusus untuk shooting film ini. Kamar itu adalah sebuah kamar dengan perabotan yang sangat sederhana di antaranya sebuah kasur, meja, dan sebuah papan pengumuman yang sengaja dibuat berisi aturan-aturan kos. ''Tidak ada yang diubah dalam kamar itu karena sudah sesuai dengan skenario tentang Armand, sosok mahasiswa yang hidup sederhana. Papan pengumuman untuk memberi detail kamar kos,'' papar Fajar.
Lokasi lainnya adalah wilayah Kota Baru, Yogyakarta. Di Kota Baru, beberapa adegan dalam film yang menggambarkan suasana keseharian Armand diambil. Sedangkan lokasi terakhir yang dipilih adalah Studio Mataram Surya Visi yang terletak di Kota Yogyakarta. Studio ini disulap menjadi sebuah studio siaran televisi. Di dalam studio itu diambil adegan seorang presenter berita yang sedang membacakan berita baik tentang isu korupsi maupun berita pengeboman.
Yang menarik, dalam salah satu adegan pembacaan berita, mereka menampilkan seorang presenter berita sungguhan, yaitu Grace Natalie dari stasiun televisi antv. Meskipun waktunya sangat sempit, Grace bisa meluangkan waktu untuk pengambilan gambar yang hanya berlangsung selama satu jam. Itu pun di sela-sela liputan antv di Yogyakarta. Selama proses pengambilan gambar yang berlangsung selama tujuh hari sejak 24-30 Maret 2007 tersebut, para kru menggunakan kamera format video Canon SL-2 dan mengerahkan sedikitnya 33 kru.
Sepanjang proses produksi dan editing film yang terbilang indie alias independen ini, kru Mati Bujang Tengah Malam juga dibantu oleh sebuah rumah produksi di Yogyakarta bernama Zerosith Pictures. Dari hasil kerja keras plus berbujet minim itulah, film berdurasi 45 menit tuntas digarap.
Namun, setelah melalui proses editing yang memakan waktu satu bulan, film tersebut akhirnya berdurasi 30 menit. Rupanya, durasi 30 menit sudah ditargetkan sejak awal. ''Kita realistis saja. Karena memang film pendek, ya waktu tayangnya juga tidak boleh terlalu panjang,'' papar Fajar. Di Kota Yogyakarta sendiri, film Mati Bujang Tengah Malam telah beredar sejak Juli lalu. Rencananya, film ini pun siap merambah Jakarta sekitar akhir bulan Agustus. fia
Berbicara dengan Simbol
Tak hanya dengan bahasa gambar, kisah Mati Bujang Tengah Malam ini berbicara pula dengan bahasa simbol. Untuk mengalirkan suasana, tim produksi menyisipkan beberapa simbol yang memiliki arti. Seperti penggunaan simbol dua buah surat, yaitu sebuah surat tagihan pembayaran kos dan sepucuk lagi surat dari orang tua Armand yang mengharapkan dia sebagai tumpuan harapan perekonomian keluarga.
Kedua surat itu menggambarkan tekanan pada Armand sehingga ia tidak ada pilihan untuk menerima pekerjaan dan menjalani aksi bunuh diri. Simbol lain yang dipilih adalah bola golf yang merupakan simbol koruptor dan juga buku-buku yang bercerita seputar terorisme. Rupanya, Fajar Nugroho berharap simbol-simbol ini akan membuat filmnya bakal kaya dengan detail.fia
( )
berita diatas, terbit pada Sabtu (18/8) di Harian REPUBLIKA
No comments:
Post a Comment